Hai
readers^^
Seperti
yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, kali ini saya ingin membahas hal-hal
yang ada di lingkungan yang sekarang ini saya tinggali, MAN Insan Cendekia
Serpong. Tepat satu minggu lebih satu hari yang lalu, saya melaksanakan Hari raya
Idul Adha yang terakhir kalinya disini. Sedih memang rasanya karena mungkin ini
momen-momen terakhir yang bisa saya habiskan bersama teman-teman saya. Namun,
tahun ini agaknya hari raya saya laksanakan dengan perbedaan yang cukup
berarti. Seperti yang diketahui bahwa banyak berita yang menyampaikan bahwa
jatuhnya pelaksanaan hari raya Idul Adha berbeda dari satu golongan dengan
golongan yang lain di Indonesia, utamanya.
Sebelumnnya saya yakin akan melaksanakan shalat Idul Adha pada tanggal 5 Oktober, namun saya kemudian berpikir dua kali. Saya selama ini tidak pernah berbeda pandangan dari orang tua atau lebih enak disebut “masih buntut” orang tua, karena kenyataannya orang tua saya melaksanakan shalat Idul Adha pada tanggal 4 Oktober. Tak pernah saya duga sebelumnya ternyata perubahan keputusan yang saya buat untuk lebih mengikuti orang tua didukung dengan adanya fakta bahwa di Arab Saudi pada hari jum’at tanggal 3 oktober, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji rupannya sedang wukuf di padang Arafah. Fakta ini membuat saya yakin bahwa pelaksanaan shalat Idul Adha seharusnya memang jatuh pada hari Sabtu, tanggal 4 Oktober 2014.
Kemudian saya dikejutkan dengan beberapa teman saya yang kebetulan juga berasal dari Jawa Timur juga ingin melaksanakan Hari raya Idul Adha pada hari sabtu. Memang sebenarnya keputusan kami ini sedikit kontroversial diantara teman-teman lainnya yang memilih untuk mengikuti pemerintah Indonesia yang didasarkan pada hasil sidang itsbat bahwa pelaksanaan shalat Idul Adha jatuh pada hari minggu, 5 Oktober 2014.
Saya ingat sekali waktu itu, guru saya mengingatkan kami tentang pelaksanaan shalat Idul Adha yang masih bertepatan dengan pelaksanaan UTS (Ujian Tengah Semester) 1 yang baru akan berakhir pada hari sabtu, bahwasannya sekolah telah mengundurkan waktu pelaksanaan ujian menjadi pukul 8.30 untuk memfasilitasi guru-guru IC yang ingin melaksanaan Hari raya Idul Adha pada hari sabtu. Namun, untuk seluruh siswa-siswi IC secara implisit diharuskan untuk melaksanakan shalat Idul Adha secara serempak pada hari minggu 5 Oktober.
Tentu saja keputusan dari pimpinan sekolah ini mengguncang kami yang sudah memutuskan untuk melaksanaan shalat Idul Adha berbeda hari. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan kami mencoba untuk bernegoisasi dengan guru kami agar membolehkan kami untuk melaksanakan shalat Idul Adha pada hari sabtu. Awalnya, kami cukup kecewa karena pengajuan izin kami secara tidak langsung ditolak. Yah, mungkin memang sedikit aneh jika dalam satu instansi atau lembaga mengadakan pelaksanaan shalat Idul Adha pada hari yang berbeda. Apalagi untuk sebuah madrasah ternama di Indonesia yang dibawah instansi Kementerian Agama. Memang benar, kami belum mempunyai pengetahuan untuk melakukan rukyatul hilal atau menggunakan perhitungan (hisab) dalam penentuan pelaksanaan hari raya Idul Adha ataupun dengan jalan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan sidang isbat yang merupakan hasil ijtihad dari beberapa ulama.
Akan tetapi menurut saya ini memang belum bisa dijadikan sebagai pedoman seutuhnya (dalam fiqih disebut ijma’ ), karena pada kenyataannya ulama di Indonesia masih didapati banyak perbedaan. Ada sebagian masyarakat yang mengikuti ulama dari Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama (NU). Dalam kondisi seperti ini saya mempertimbangkan dari segala aspek. Apabila di Arab Saudi pada hari jum’at sedang pelaksanaan wukuf di Arafah dan memang telah dianjurkan bagi setiap muslim untuk melaksanakan puasa Arafah sehingga esok harinya dapat dilangsungkan shalat hari raya Idul Adha, lalu bagaimana jika pelaksanaan shalat Idul Adha justru dilangsungkan pada hari minggu? Ini tentunya sangat membingungkan, lalu kita harus mengikuti siapa?
Memang ini adalah hal yang asyik diperbincangkan. Mungkin banyak diantara kita yang bingung kalau harus mengikuti siapa ketika penentuan shalat hari raya Idul Adha seperti tempo hari karena didapati banyak perbedaan pendapat diantara ulama Indonesia. Namun, sebaiknya kita kembalikan lagi urusan ini berdasarkan ayat dalam Al-Quran. Berdasarkan firman Allah swt. dalam Q.S. An Nisa/4:59 yang artinya:
“Wahai orang-orang
beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri di antara
kalian..” (QS. An Nisa/4: 59)
Berdasarkan paparan ayat diatas dapat diartikan bahwasannya kita harus mengikuti perintah Allah swt. kemudian Rasulullah saw. dan baru itulah Ulil Amri diantara kita. Karena sekarang kita berada pada masa modern dan yang disebut sebagai Ulil Amri disini adalah para ulama. Menurut Imam Ibnu Katsir, beliau menjelaskan bahwa Ulil Amri adalah umara (para ulama) dan ahli fiqih. Disamping itu Ulil Amri juga dapat diartikan sebagai pemerintah Indonesia (dalam konteks ini).
Pemerintah juga disebut sebgai Ulil Amri karena mereka adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyat Indonesia. Pemerintah adalah sosok pemimpin yang harus diikuti, karena setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah didasarkan kepada para ulama Indonesia. Seperti penentuan 1 Syawal, awal puasa ramadhan, hari raya Idul Adha, itu semua ditentukan berdasarkan sidang itsbat dengan jalan melakukan rukyatul hilal ataupun cara hisab (hitungan). Namun tidak dapat dipungkiri, sekalipun para ulama yang bekerja sama dengan pemerintah sudah menetapkan suatu tanggal (misal: hari raya Idul Adha), masih saja ditemukan perbedaan pendapat. Golongan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang terjadi perbedaan pendapat, dan inilah yang membuat masyarakat memutuskan untuk mengikuti satu golongan tertentu untuk dijadikan dasar.
Saya juga turut dipusingkan dengan keadaan demikian. Namun, saya telah memutuskan berpedoman pada fakta lapangan yang terjadi di Arab Saudi bahwa pada hari jum’at 3 Oktober 2014 orang haji sedang melaksanakan ibadah wukuf dan saya juga mengikuti ulama dari golongan Muhammadiyah yang pelaksanaan hari raya Idul Adha jatuh pada tanggal 4 Oktober 2014. Saya juga meniatkan diri saya sendiri pelaksanaan shalat Idul Adha lillahi ta’ala.
Namun, apabila pelaksanaan shalat Idul Adha dilakukan pada hari minggu, 5 Oktober 2014 juga tidak perlu dipermasalahkan. Sebab pemerintah mengumumkan pelaksanaan shalat Idul Adha pada hari minggu juga berdasarkan perhitungan (hisab), sehingga tidak perlu dikhawatirkan ibadah yang telah dilakukan sia-sia. Asalkan keyakinan kita sudah pasti dan memiliki pedoman untuk melaksanakan shalat Idul Adha tersebut (bukan asal ikut-ikutan), insya Allah setiap perbuatan yang diniatkan kepada Allah swt. akan mendapat ganjaran yang sudah ditentukan kadarnya oleh Allah swt.
Sekalipun terdapat banyak perdebatan disini, saya berharap suatuhari nanti pemerintah Indonesia dapat lebih tegas dalam memutuskan suatu putusan. Saya berharap masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam dapat melaksanakan ibadah secara serempak tanpa adanya perbedaan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan dapat melaksanakan ibadah lebih khusyu’. Pemerintah Indonesia juga sebaiknya dapat mencegah adanya perbedaan diantara masyarakatnya, apalagi jika ini berhubungan dengan ibadah kita sebagai seorang muslim.