Minggu, 19 Oktober 2014



Hai readers^^
Seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, kali ini saya ingin membahas hal-hal yang ada di lingkungan yang sekarang ini saya tinggali, MAN Insan Cendekia Serpong. Tepat satu minggu lebih satu hari yang lalu, saya melaksanakan Hari raya Idul Adha yang terakhir kalinya disini. Sedih memang rasanya karena mungkin ini momen-momen terakhir yang bisa saya habiskan bersama teman-teman saya. Namun, tahun ini agaknya hari raya saya laksanakan dengan perbedaan yang cukup berarti. Seperti yang diketahui bahwa banyak berita yang menyampaikan bahwa jatuhnya pelaksanaan hari raya Idul Adha berbeda dari satu golongan dengan golongan yang lain di Indonesia, utamanya.

Sebelumnnya saya yakin akan melaksanakan shalat Idul Adha pada tanggal 5 Oktober, namun saya kemudian berpikir dua kali. Saya selama ini tidak pernah berbeda pandangan dari orang tua atau lebih enak disebut “masih buntut” orang tua, karena kenyataannya orang tua saya melaksanakan shalat Idul Adha pada tanggal 4 Oktober. Tak pernah saya duga sebelumnya ternyata perubahan keputusan yang saya buat untuk lebih mengikuti orang tua didukung dengan adanya fakta bahwa di Arab Saudi pada hari jum’at tanggal 3 oktober, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji rupannya sedang wukuf di padang Arafah. Fakta ini membuat saya yakin bahwa pelaksanaan shalat Idul Adha seharusnya memang jatuh pada hari Sabtu, tanggal 4 Oktober 2014.

Kemudian saya dikejutkan dengan beberapa teman saya yang kebetulan juga berasal dari Jawa Timur juga ingin melaksanakan Hari raya Idul Adha pada hari sabtu. Memang sebenarnya keputusan kami ini sedikit kontroversial diantara teman-teman lainnya yang memilih untuk mengikuti pemerintah Indonesia yang didasarkan pada hasil sidang itsbat bahwa pelaksanaan shalat Idul Adha jatuh pada hari minggu, 5 Oktober 2014. 

Saya ingat sekali waktu itu, guru saya mengingatkan kami tentang pelaksanaan shalat Idul Adha yang masih bertepatan dengan pelaksanaan UTS (Ujian Tengah Semester) 1 yang baru akan berakhir pada hari sabtu, bahwasannya sekolah telah mengundurkan waktu pelaksanaan ujian menjadi pukul 8.30 untuk memfasilitasi  guru-guru IC yang ingin melaksanaan Hari raya Idul Adha pada hari sabtu. Namun, untuk seluruh siswa-siswi IC secara implisit  diharuskan untuk melaksanakan shalat Idul Adha secara serempak pada hari minggu 5 Oktober.

Tentu saja keputusan dari pimpinan sekolah ini mengguncang kami yang sudah memutuskan untuk melaksanaan shalat Idul Adha berbeda hari. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan kami mencoba untuk bernegoisasi dengan guru kami agar membolehkan kami untuk melaksanakan shalat Idul Adha pada hari sabtu. Awalnya, kami cukup kecewa karena pengajuan izin kami secara tidak langsung ditolak. Yah, mungkin memang sedikit aneh jika dalam satu instansi atau lembaga mengadakan pelaksanaan shalat Idul Adha pada hari yang berbeda. Apalagi untuk sebuah madrasah ternama di Indonesia yang dibawah instansi Kementerian Agama. Memang benar, kami belum mempunyai pengetahuan untuk melakukan rukyatul hilal atau menggunakan perhitungan (hisab) dalam penentuan pelaksanaan hari raya Idul Adha ataupun dengan jalan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan sidang isbat yang merupakan hasil ijtihad dari beberapa ulama.

Akan tetapi menurut saya ini memang belum bisa dijadikan sebagai pedoman seutuhnya (dalam fiqih disebut ijma’ ), karena pada kenyataannya ulama di Indonesia masih didapati banyak perbedaan. Ada sebagian masyarakat yang mengikuti ulama dari Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama (NU). Dalam kondisi seperti ini saya mempertimbangkan dari segala aspek. Apabila di Arab Saudi pada hari jum’at sedang pelaksanaan wukuf di Arafah dan memang telah dianjurkan bagi setiap muslim untuk melaksanakan puasa Arafah sehingga esok harinya dapat dilangsungkan shalat hari raya Idul Adha, lalu bagaimana jika pelaksanaan shalat Idul Adha justru dilangsungkan pada hari minggu? Ini tentunya sangat membingungkan, lalu kita harus mengikuti siapa?

Memang ini adalah hal yang asyik diperbincangkan. Mungkin banyak diantara kita yang bingung kalau harus mengikuti siapa ketika penentuan shalat hari raya Idul Adha seperti tempo hari karena didapati banyak perbedaan pendapat diantara ulama Indonesia. Namun, sebaiknya kita kembalikan lagi urusan ini berdasarkan ayat dalam Al-Quran. Berdasarkan firman Allah swt. dalam Q.S. An Nisa/4:59 yang artinya:

“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian..” (QS. An Nisa/4: 59)

Berdasarkan paparan ayat diatas dapat diartikan bahwasannya kita harus mengikuti perintah Allah swt. kemudian Rasulullah saw. dan baru itulah Ulil Amri diantara kita. Karena sekarang kita berada pada masa modern dan yang disebut sebagai Ulil Amri disini adalah para ulama. Menurut Imam Ibnu Katsir, beliau menjelaskan bahwa Ulil Amri adalah umara (para ulama) dan ahli fiqih. Disamping itu Ulil Amri juga dapat diartikan sebagai pemerintah Indonesia (dalam konteks ini).

Pemerintah juga disebut sebgai Ulil Amri karena mereka adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyat Indonesia. Pemerintah adalah sosok pemimpin yang harus diikuti, karena setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah didasarkan kepada para ulama Indonesia. Seperti penentuan 1 Syawal, awal puasa ramadhan, hari raya Idul Adha, itu semua ditentukan berdasarkan sidang itsbat dengan jalan melakukan rukyatul hilal ataupun cara hisab (hitungan). Namun tidak dapat dipungkiri, sekalipun para ulama yang bekerja sama dengan pemerintah sudah menetapkan suatu tanggal (misal: hari raya Idul Adha), masih saja ditemukan perbedaan pendapat. Golongan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang terjadi perbedaan pendapat, dan inilah yang membuat masyarakat memutuskan untuk mengikuti satu golongan tertentu untuk dijadikan dasar.

Saya juga turut dipusingkan dengan keadaan demikian. Namun, saya telah memutuskan berpedoman pada fakta lapangan yang terjadi di Arab Saudi bahwa pada hari jum’at 3 Oktober 2014 orang haji sedang melaksanakan ibadah wukuf dan saya juga mengikuti ulama dari golongan Muhammadiyah yang pelaksanaan hari raya Idul Adha jatuh pada tanggal 4 Oktober 2014. Saya juga meniatkan diri saya sendiri pelaksanaan shalat Idul Adha lillahi ta’ala.

Namun, apabila pelaksanaan shalat Idul Adha dilakukan pada hari minggu, 5 Oktober 2014 juga tidak perlu dipermasalahkan. Sebab pemerintah mengumumkan pelaksanaan shalat Idul Adha pada hari minggu juga berdasarkan perhitungan (hisab), sehingga tidak perlu dikhawatirkan ibadah yang telah dilakukan sia-sia. Asalkan keyakinan kita sudah pasti dan memiliki pedoman untuk melaksanakan shalat Idul Adha tersebut (bukan asal ikut-ikutan), insya Allah setiap perbuatan yang diniatkan kepada Allah swt. akan mendapat ganjaran yang sudah ditentukan kadarnya oleh Allah swt.

Sekalipun terdapat banyak perdebatan disini, saya berharap suatuhari nanti pemerintah Indonesia dapat lebih tegas dalam memutuskan suatu putusan. Saya berharap masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam dapat melaksanakan ibadah secara serempak tanpa adanya perbedaan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan dapat melaksanakan ibadah lebih khusyu’. Pemerintah Indonesia juga sebaiknya dapat mencegah adanya perbedaan diantara masyarakatnya, apalagi jika ini berhubungan dengan ibadah kita sebagai seorang muslim.



Hai readers^^ akhirnya kita bisa bertegur sapa lagi dalam tulisan blog saya. Sudah lama sekali sekitar 2 minggu mungkin ya (?) saya tidak mengisi blog saya dengan tulisan-tulisan indah saya (percaya diri sekali!). Curhat sedikit tentang satu minggu kemarin yang melelahkan. Bukan hanya otot, tapi juga otak! Alhamdulillah, saya baru saja menyelesaikan UTS (Ujian Tengah Semester) untuk yang “benar-benar” terakhir kalinya, sepanjang sejarah hidup saya di MAN Insan Cendekia Serpong. Benar, saya sekarang sudah menginjak kelas 12 yang terhitung sejak 11 Agustus 2014 lalu. Sedih sekali kalau saya mengingat kisah perjuangan saya dahulu ketika masih kelas 10-11, dan sekarang saya sudah akan lulus (aamiiin) L Saya akan segera berpisah dengan teman-teman seperjuangan, yang selalu menyemangati saya, melukis hari-hari saya dengan kejutan. Tapi, bukankah hidup memang selalu begitu? Kita harus siap untuk meninggalkan dan ditinggalkan J

Baiklah, untuk edisi kali ini saya lebih ingin sharing tentang “SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM”. Mumpung masih hangat nih ders (singkatan dari ‘readers’) bagi saya untuk membagikan ilmu tentang Sejarah Kebudayaan Islam. Memang benar, ini adalah pelajaran agama yang ada di madrasah-madrasah dari yang tsanawiyah sampai dengan aliyah. Hanya saja, saya ingin mengungkap fakta dibalik tumbangnya peradaban Islam sekarang.

Kalau kita menengok ke belakang, ke masa 711 M silam, dimana pada masa itu peradaban Islam dalam keadaan semaju-majunya. Mulai dari perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan sastra Arab, seni arsitektur, perekonomian yang maju, perdagangan, ketentaraan, dan pertanian. Tidak dapat dipungkiri pada masa-masa pemerintahan setelah Rasulullah saw. wafat, Islam semakin berkembang hingga sampai pada puncaknya peradaban yang mendunia.

Pada tahun 711 M hingga 1492 M, Islam berada di bawah tanduk pemerintahan Bani Umayyah II yang berpusat di kota Cordova, Andalusia atau sekarang dikenal sebagai negara Spanyol.  Sementara itu, di kota Baghdad juga dikuasai oleh Bani Abbasiyah yang berdiri sejak tahun 750 M hingga 1258 M. Kedua pusat pemerintahan Islam ini bagaikan dua mercusuar bagi seluruh wilayah di belahan bumi manapun. Peradaban yang dibangun dari kedua pusat pemerintahan ini, seni arsitektur bangunan yang tinggi, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan, hingga bidang ketentaraan, mampu menarik banyak orang untuk mengunjungi tempat-tempat yang ada di pusat kota Baghdad maupun Andalusia. Kota Baghdad mendirikan beberapa universitas yang terbuka bagi seluruh pelajar di penjuru dunia seperti Universitas Al Musthansiriya dan Universitas Al Nizhumiyah. Begitupun juga dengan di Andalusia yang mendirikan universitas-universitas terkenal seperti Universitas Cordova, Universitas Granada dan Universitas Toledo. Selain itu, banyak ilmuwan terkenal di berbagai bidang sains dan agama  yang lahir dari kedua peradaban Islam ini.

Sementara itu, di belahan bumi lainnya, tepatnya di Benua Eropa sedang berada pada zaman kegelapan atau Dark Age. Penjelasan singkat tentang Dark Age, merupakan suatu masa dimana kekuasaan gereja mendominasi dan gereja melarang untuk mencampurkan urursan agama dan ilmu. Sehingga masyarakat Eropa tidak dapat berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan karena apabila mereka memberontak, pasti gereja akan mengambil tindakan keras. Mengetahui adanya kemajuan peradaban Islam di Andalusia, membuat raja-raja Inggris meminta pada pemerintahan Islam di Cordova agar generasinya bisa kuliah di Universitas Cordova. Hal ini bertujuan agar generasi bangsa Eropa mampu mengembangkan ilmu pengetahuan di Eropa di kemudian hari. Ternyata, salah satu alumni dari Universitas Cordova berkebangsaan Italia-lah yang berhasil menciptakan Renaisance (revolusi pengetahuan).

Tonggak sejarah Islam yang menjadi magnet seluruh masyarakat di dunia karena kemajuan ilmu pengetahuannya dan segala aspek lainnya, membuat para pelajar dan alumni dari universitas-universitas terkenal di Kota Baghdad dan Andalusia ketika kembali ke negara asalnya selalu dikagumi oleh sebangsanya. Apalagi ketika mereka menggunakan aksen “ke-arab-araban”-nya. Wah, bagaikan sesuatu yang sangat WOW!

Namun, seperti roda yang terus berputar. Apa yang diatas, harus berputar, berjungkir-balik ke bawah. Lalu, apa yang di bawah akan bergerak naik ke atas, menggantikan apa yang ada sebelumnya. Semuanya menjadi serba berkebalikan. Peradaban Islam yang susah payah dibangun dari nol, lenyap dalam sekejap, setelah tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M) membumihanguskan Kota Baghdad dan kota-kota besar kekuasaan wilayah Bani Abbasiyah. Mereka membakar perpustakaan, lembaga pendidikan, dan pusat-pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Ini menjadi puncak berakhirnya kekuasaan Islam di Baghdad dan wilayah kekuasaannya.

Keadaan ini tidak jauh beda dari kekuasaan Islam yang ada di Andalusia. Orang-orang Kristen mulai bangkit dan membuat suatu gerakan Reconquista, dimana orang-orang Kristen ingin merebut kekuasaan mereka di Andalusia dan mengusir orang-orang Islam dari wilayah itu ketika tambuk kekuasaan berada di tangan Khalifah Muhammad XII dibawah Kesultanan Granada. Pada tahun 1492 M, kekuasaan Islam benar-benar hancur. Orang-orang Islam diperintahkan untuk meninggalkan tanah Andalusia oleh pimpinan orang Kristen, yakni Ferdinand dan Isabella, atau memilih murtad (masuk agama Kristen) tapi tetap tinggal di Andalusia. Dengan kepala tertunduk malu akhirnya orang-orang Islam pergi meninggalkan tanah Andalusia. Sehingga berakhirlah kekuasaan Islam di wilayah itu.

Lalu, pernahkah kita memikirkan hal ini sebelumnya? Ketika dahulu, orang-orang Eropa berbangga diri dengan aksen “ke-arab-araban” saat Islam sangat maju, sekarang malah kita yang berbangga diri apabila kita bisa beraksen seperti orang barat. Kita bangga menggunakan Bahasa Inggris karena peradaban Eropa sudah sangat maju. Semua orang berebutan ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri seperti Perancis, Inggris, Amerika dan lainnya. Apakah kita tidak memikirkan hal ini lagi? Ketika dahulu, bangsa Eropa ingin menuntut ilmu di universitas-universitas Islam agar membebaskan bangsanya dari penjara doktrin gereja. Dan segalanya sekarang berkebalikan.

Apakah kita tidak pernah memikirkan hal ini? Apakah tidak timbul perasaan untuk mengembalikan kejayaan Islam yang telah padam ini? Lalu, dengan apa kita mampu mengembalikan kekuasaan Islam seperti dahulu? Jawabannya tak lain tak bukan adalah diri kita sendiri. Dengan berprestasi, kita akan bisa memajukan Islam seperti dulu lagi. Dengan SEMANGAT dan TEKAD yang KUAT, insya Allah, KITA BISA J

Saya pernah mendengar kalimat dari guru saya, beliau berpesan pada kami, “Kalau kalian berprestasi, bukan hanya membanggakan nama kalian, tapi juga mengharumkan Islam”.


Wahai mujahid dan mujahidah, bersiap-siaplah untuk mengembalikan kejayaan Islam ke tangan orang Islam J



Senin, 22 September 2014


Menjadi salah seorang pejuang wanita itu tidaklah mudah. Harus siap dengan segala konsekuensi dan menghadapi kritikan luar biasa dari dunia. Tak sedikit keringat yang mengucur, ketika harus menguras seluruh energi untuk memberikan kontribusi yang besar demi bangsa. Ketika pekerjaan yang dilakukan kurang dihargai sehingga ia harus berjuang lebih keras lagi, memperbaiki setiap detail dan mempelajarinya agar membuahkan hasil yang sesuai dengan apa yang di-inginkan. Tak sedikit pula bulir air mata yang menetes dari pelupuk mata, ketika apa yang telah diperjuangkan hingga titik darah penghabisan hanya seperti sampah tidak berguna dimata orang lain. Pengorbanan, kerja keras, serta kegigihan dalam mempertahankan suatu gagasan ataupun ide-ide merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang ingin dicapai oleh seorang wanita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya layak dinyatakan sebagai seorang pejuang.

Tak perlu mengambil contoh yang terlampau jauh, kita dapat melihat sendiri bagaimana perjuangan seorang ibu untuk mempertahankan hidupnya demi sang buah hati yang telah dinanti-nantinya selama kurang lebih sembilan bulan. Betapa perjuangan yang tidak dapat dibayangkan bagaimana kesakitan yang begitu menusuk hingga tibalah buah hati itu terlahir di dunia yang membuat seakan-akan beban perjuangan selama ini tidaklah sia-sia sehingga beliau patutlah diagungkan sebagai seorang pejuang. Pejuang untuk sang buah hati.

Perjuangan pun tidak hanya dalam bentuk itu saja, namun bisa juga dengan perjuangan untuk mengangkat moral dan martabat suatu bangsa, atau yang bisa dibilang sebagai pahlawan revolusioner yang telah ada sejak zaman penjajahan. Yah, pejuang-pejuang revolusioner yang terkadang luput dari ingatan kita. Dapatkah kita bayangkan bagaimana perjuangan mereka untuk tetap hidup dan terus memberikan ide-ide demi kemajuan bangsa ini? Terkadang kita bisa menjadi begitu sombong atas kenikmatan yang kita rasakan saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya kita bisa juga menjadi begitu apatis terhadap segala perubahan-perubahan yang ada disekitar kita sehingga kita lupa siapa jati diri kita sebenarnya dan siapa yang dulunya telah berjuang sekuat tenaga dan pikiran demi kehidupan yang sekarang kita nikmati.

Menengok dari cuplikan-cuplikan peristiwa masa beberapa tahun silam, ketika  bangsa ini harus merasakan pahitnya penjajahan atas Belanda yang melilhat kondisi bangsa ini yang mengenaskan dan sangat terbelakang yang kemudian mereka menjadikannya sebagai peluang untuk menjajah bangsa ini dari segi politik, ekonomi, sosial bahkan pendidikan. Dimana Belanda sangat protektif akan pemberian pendidikan bagi bangsa Indonesia. Tidak membutuhkan alasan yang penjang lebar tentang alasan mereka melakukan ini, yah, bahwa Belanda takut apabila mereka memberi kesempatan bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan, maka mereka dapat memberontak dan dapat mengusir kepemerintahan Belanda saat itu. Sehingga mereka berlaku kejam dan tak memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menerima pendidikan dan bangsa inipun terus terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan. Apalagi ketika melihat seroang wanita Indonesia, Belanda sangat menekan mereka dan menganggap bahwa kodrat seorang wanita itu rendah.

Namun, seiring berjalannya waktu, Belanda mulai membuka kesempatan bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan yang mereka berasal dari keluarga terpandang dan pemerintah Belanda pun tidak dengan mudah memberikan ijin. Pada saat itu hanya beberapa wanita saja yang boleh mengikuti pengajaran tersebut dan pengajaran yang mereka dapatkan juga tidak sekompleks seperti apa yang kita dapatkan sekarang.

Beberapa wanita itu ternyata menggunakan kesempatan untuk belajar dan terus belajar karena nyatanya mereka juga memiliki cita-cita bagaimana caranya agar bangsa ini tidak terus terbelakang dan dapat mencerdaskan kaum wanita lainnya yang belum tentu mendapatkan kesempatan emas seperti mereka. Ketika keinginan yang begitu kuat meresap ke dalam jiwa mereka, maka tindakan yang diambil tentunya juga mengikuti cara berpikir mereka. Saat melihat keadaan wanita di lingkungannya yang mengenaskan, derajat wanita yang rendah, kebodohan yang terus menggerogoti kaum wanita, seakan ada sentakan besar dalam diri mereka yang tanpa harus berpikir dua kali, mereka ingin membuat sebuah perubahan besar.

Dimulai dari keberanian untuk memberikan pengajaran bagi wanita-wanita yang ada di lingkungannya dengan kesabaran mencoba menyisipi ruang pemikiran mereka dan mencoba untuk mengubah pemikiran mereka bahwa wanita itu tidak hanya hidup untuk berlindung dibalik punggung suaminya. Bahwa wanita itu sebenarnya memiliki kuasa untuk mengendalikan dirinya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri serta memikirkan nasib rakyatnya kelak. Rupanya pengajaran yang mulanya dilakukan di rumah-rumah pendidik wanita berangsur berkembang dengan banyaknya wanita yang mengikuti kegiatan pengajaran tersebut. Minat mereka pun untuk dapat membaca, menulis, berhitung, berpikir kritis bertambah karena dipicu dengan motivasi-motivasi untuk menjadikan bangsa ini lebih baik. Tak hanya pendidikan umum yang diberikan, tetapi pendidikan yang berasaskan agama juga diajarkan dengan baik agar dalam memperjuangkan suatu hak tidak hanya untuk kepentingan dunia namun juga mempertimbangkan kepentingan akhirat yang bukannya menuntut namun secara tidak langsung dapat menjadikan ilmu yang dipelaari selama ini menjadi hidup dan bermanfaat bagi orang lain. Pendidikan agama yang diajarkan berupa bahasa arab yang demikian dapat menambah keimanan wanita itu sendiri. Lalu mengapa mereka menitikberatkan pada pendidikan? Yah, apalagi alasannya kalau bukan karena hanya orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan hati yang tulus yang dapat berkiprah dalam pemerintahan jika memenag ingin membuat gerakan serentak yang menyeluruh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang tidak mudah juga untuk mendapatkan pengakuan dari dunia namun karena keinginan yang besar itulah yang membuat kepercayaan diri kaum wanita terangkat. Dengan pendidikan, kaum wanita itupun kembali memutar otak bahwasannya memang benar bahwa tidak ada salahnya jika wanita ikut andil dalam pemerintahan dan pemikiran ini pun berlanjut hingga ke pemikiran untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya yang pada saat itu mengalami bencana kebodohan oleh para penjajah.

Satu hal yang pada masa itu juga menjadi permasalahan penting yakni, perbedaan kedudukan antara pria dan wanita yang seolah-olah terdapat jurang yang memisahkan keduanya dan kaum pria lebih dijunjung tinggi daripada kaum wanita sebab wanita dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak punya andil yang besar terhadap perubahan nasib bangsa sehingga wanita menjadi tertinggal jauh dari kaum pria, terutama pada bidang pendidikan. Namun, disaat krisis kepercayaan terhadap kaum wanita ini, munculah seorang sosok yang menjadi pahlawan bagi kaum wanita yang mampu mengangkat derajat kaum wanita dengan berbekal keyakinan yang kuat serta mengandalkan rasa emansipasi yang tinggi. Tersebutlah Raden Ajeng Kartini, pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita dengan menitikberatkan pada penolakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan inilah yang kerap kali di-elu-elukan. Bagaimana tidak? Jika bukan karena perjuangan beliau, mungkin kaum wanita di Indonesia tidak dapat terlepas dari diskriminasi akan perbedaan derajat dengan kaum pria dan kebodohan yang akan terus membelenggu kaum wanita. Dan sesungguhnya tujuan utama dari RA Kartini ini selain untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia adalah agar kaum wanita juga memiliki peran dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air yang dicintainya.

Rupanya perjuangan Ibu Kartini tidaklah sia-sia. Seolah-olah menjadi titik terang bagi kehidupan kaum wanita di Indonesia, lahirlah pahlawan-pahlawan wanita nasional lainnya yang juga memiliki visi dan misi yang sama yakni agar kaum wanita tidak tertinggal dengan perkembangan pesat yang diperlihatkan dari kaum pria dan mengutamakan pendidikan bagi kaum wanita demi perjuangan kemerdekaan.

Pahlawan nasional ini juga memiliki cara mereka sendiri untuk memperlihatkan cara berjuang mereka demi kemerdekaan, ada yang dengan jalan mengangkat senjata seperti Cut Nyak Dhien dan Keumalahayati namun juga ada yang mendirikan sekolah khusus bagi wanita seperti Dewi Sartika. Dan tahukah bahwa darah pejuang itu lahir dari tiap daerah masing-masing? Namun karena pengetahuan kita selama ini hanya sebatas merujuk pada beberapa tokoh pahlawan wanita saja, sehingga pahlawan wanita lainnya pun dapat terlupakan perjuangannya. Tahukah kalian dengan sosok pahlawan yang mendirikan sekolah sekaligus mengangkat senjata untuk menunjukkan cara berjuangnya demi bangsa mereka? Beliau adalah Rahmah El Yunusiyah.

Peran Rahmah El Yunusiyah yang sangat terlihat ketika ia menjadi pelopor pendidikan bagi kaum wanita dengan mendirikan Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah li al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang dengan memberi pengajaran tentang ilmu agama dan tata bahasa Arab.
Ternyata perjuangan untuk kemerdekaan tidak hanya dilakukan melaui jalan pendidikan, dalam bidang politik juga dapat dilakukan misalnya ikut dalam organisasi politik ataupun partai politik tertentu agar memberi kedudukan tersendiri dalam pemerintahan sehingga melalui kedudukan itu dapat mengubah pandangan masyarakat agar tidak terus dimanjakan oleh kenikmatan dunia semata. Seperti yang dilakukan oleh pakhlawan wanita kita, Rasuna Said memulai perjuangannya untuk membela kaum perempuan dengan bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang. Dalam bidang militer pun dapat dilakukan dukungan-dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan misalnya dengan menjadi donatur dalam pemberian dana demi kelancaran jalannya sistem militer di Indonesia sehingga bangsa ini tidak tertinggal dengan kemajuan bidang militer negara lain. Seperti yang telah dilakukan oleh Rahmah El Yunusiyah yang ikut berkiprah dalam bidang milliter yakni menjadi salah satu pelopor berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dimana ia memberi hartanya untuk pembinaan TKR tersebut. Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan.
Betapa peran pahlawan wanita ini tidak dapat terlupakan sepanjang masa dan kita patutu bersyukur dan tidak terlena terhadap kenikmatan yang merupakan hasil keringat dan kerja keras dari para pejuang kita sehingga kita dapat mengenyam pendidikan dengan baik.


Dan perjuangan para pahlawan wanita yang telah dipupuk sejak zaman penjajahan tersebut harus terus dilanjutkan oleh generasi-generasi kaum wanita seperti kita. Sebagai generasi yang berkeinginan terpuji untuk melanjutkan perjuangan beliau harus berpikiran luas terhadap dunia luar dan tidak menutup segala kemungkinan jika hal ini bisa dimulai sejak dini untuk dapat mencerdaskan wanita Indonesia dan mencetak goal menjadi pejuang wanita selanjutnya.

Jumat, 06 Juni 2014




Indonesia, negeri yang amat kita cintai ini tumbuh dan terus berkembang sering dengan perubahan zaman. Dari mulanya yang bukan apa-apa menjadi yang “apa-apa”. Tentu saja terdapat banyak pertanyaan mengapa negeri kita ini disebut dengan “INDONESIA”. Adakah yang tahu?



Benar, sejarah telah mengungkap setiap peristiwa yang terjadi dan patutnya sebagai pemilik negeri ini mengetahui darimanakah asal-usul kata “INDONESIA”. Ini bukan perihal yang sepele tentu saja. Yah, Indonesia berasal dari kata latin “indus” yang memiliki arti Hindia dan dari kata Yunani “nesos” yang berarti pulau, dan neisioi (jamak) yang berarti pulau-pulau. Dalam bahasa jawa Kuno pun terkenal dengan sebutan “Nusantara” yang terdiri dari dua kata, yakni: Nusa yang berarti pulau dan Antara yang berati hubungan. Dapat disimpulkan bahwa Nusantara berarti rangkaian pulau-pulau. Selain itu rupanya Bangsa Arab yang dahulu pernah melakukan perdagangan di wilayah Sumatera menyebut negeri ini sebagai Jaza’ir al-Jawii yang berarti Kepulauan Jawa. Dalam bahsa Tionghoa sendiri disebut Nan-Hai atau Kepulauan Laut Selatan dan menurut catatan Kuno Bangsa India, mereka menyebutkan negeri kita ini sebagai Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang yang diambil dari kata Sansekerta ‘dwipa’ atau pulau dan ‘antara’ atau luar (seberang).



Setelah berbincang sedikit mengenai penyebutan nama untuk negeri kita ini ternyata berkelanjutan ketika kita berada dalam masa kependudukan Belanda dimana mereka menyebut hamparan luas tanah kita ini dengan sebutan “Nederlandsch-Indie” atau Hindia Belanda. Mereka menyebut demikian karena pada masa itu negeri kita ini berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Dan ketika terjadi masa transisi kekuasaan dari Belanda ke Jepang, pemerintah jepang menybut kita dengan sebutan berbeda lagi, yakni “To-Indo” atau Hindia Timur. Mereka menyebut demikian karena negeri kita ini merupakan wilayah kekuasaan Jepang yang terletak di sebelah timur Benua Asia. Hingga pada tahun 1820-1887 seorang tokoh fenomenal bernama Eduard Douwes Dekker atau disebut Multatuli menyebut negeri ini dengan Insulinde yang diambil dari bahasa Latin yang berarti Kepulauan Hindia. Selain itu, pada tahun 1920-an, Ernest francois Eugene Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi Danudirja menyebut negeri ini sebagai Nusantara yang diambil dari Kitab Pararaton.



Lalu, bagaimana mulanya hingga negeri kita ini disebut dengan “INDONESIA”?



Pada tahun 1847, di Singapura terbit majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869) seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian tahun 1849, ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865) bergabung sebagai redaksi majalah JIAEA.



Dalam JIAEA, dalam artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”, Earl mengungkap agar Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu memiliki nama khas. Earl mengajukan dua pilihan nama, Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri rupanya memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.


Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago yang menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan ini, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Kemudian Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl lalu mengganti huruf ‘u’ dengan huruf ‘o’.



MAKA LAHIRLAH ISTILAH INDONESIA



Begitulah singkatnya perjalanan nama Indonesia yang hingga kini kita terus banggakan. Jika mungkin terbersit dalam pikiran pembaca mengapa warga negara kita menerima pemberian nama khas itu sebagai nama negara kita, alasannya karena negeri kita ini terdiri dari banyak pulau-pulau yang tiap daerahnya memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Sehingga, sebab keberagaman inilah yang pada awalnya membuat kita sulit untuk memeprsatukannya. Bagaimana caranya agar setiap budaya tiap daerah itu dapat menyatu satu sama lain, apalagi waktu itu pendidikan masih terbatas sehingga hanya segelintir orang saja yang memikirkannya. Apabila negeri ini disebut Negara Jakarta, tentu saja akan menimbulkan ketidakadilan terhadap daerah-daerah lain sehingga tidak mungkin mengambil dari nama daerah-daerah yang ada di negeri ini. Sehingga, ketika berita tentang nama “INDONESIA” yang diberikan oleh seorang kebangsaan Skotlandia, James Richardson Logan, dan menurut pemuka-pemuka Indonesia inilah nama yang khas dan dapat merangkul seluruh lapisan keberagaman yang ada, sehingga diputuskan untuk menyebut negeri ini dengan sebutan “INDONESIA”.



Seperti yang telah penulis tulis dalam artikel ini, marilah KITA, setiap jiwa-jiwa yang mengaku dan merasa memiliki negeri ini, berjuang bersama-sama untuk membentuk sebuah bangunan kokoh dalam membangun INDONESIA yang jauh-jauh-jauh maju ke depan pintu yang benar-benar MERDEKA!



MERDEKAAA!!